Senin, 27 April 2015

Slum On The Edge Of Jakarta (Kampung Kumuh)


Aroma tak sedap menjadi ciri khas dari sebuah kerajaan. Kerajaan loak yang terletak di Pejaten, Jakarta Selatan menjadi saksi bisu betapa kerasnya perjuangan hidup ditengah Ibu Kota Jakarta. Dalam kerajaan tersebut terdapat 9 lapak, yang dari masing-masing lapaknya terdapat sekitar 10 kepala keluarga. Setiap harinya mereka hanya mencari barang bekas yang masih memiliki harga jual. Mereka menjadikan pekerjaan itu sebagai tumpuan hidup keluarga mereka. Susahnya hidup di Ibu Kota tidak membuat mereka menyerah begitu saja, justru membuat mereka semangat untuk menjadi lebih baik. Dengan bantuan tenaga pengajar dari berbagai universitas di bawah naungan Green Indonesia Foundation kehidupan mereka lebih berwarna. Mereka jadi dapat mempelajari banyak hal, agar kedepannya nanti hidup mereka tidak hanya bergantung dari barang-barang loak saja.

(Berkumpul di sore hari bersama buah hati)
pict by : Eka Nur Septia

(Pengejar matahari keluar dari semak barang loak)
pict by : Sumayya

(Mencari rezeki dengan menguras seluruh tenaga)
pict by : Sony Wicaksono

(Memikul demi kelangsungan hidup)
pict by : Sony Wicaksono

(Tetap penuih harapan, anak bangsa)
pict by : Eka Nur Septia

(Berserah diri kepada Yang Maha Kuasa, kunci ketenangan hidup)
pict by : Sumayya

(Memilah secarik kertas, untuk sesuap nasi)
pict by : Sony Wicaksono

(Kaum ibu dan gelas bekas)
pict by : Eka Nur Septia

(Anak adalah titipan Tuhan yang amat berharga)
'pict by : Sumayya

("Nyore" berkumpul bersama tetangga, saudara terdekat)
pict by : Sony Wicaksono


Rabu, 08 April 2015

Pameran Foto Indonesian Heritage


Pameran foto yang diselenggarakan di Erasmus menampilkan 10 foto terbaik karya para photografer jurnalis penerima permata Photo Journalist Grant 2014. Foto-foto yang ditampilkan berisikan tentang kesenian yang ada di Indonesia, dari 10 foto yang ditampilkan ada beberapa foto yang mencuri perhatian saya karena terdapat kisah dan makna dari foto-foto tersebut.

Cokek Sang Penghibur
Captured by : Anggara Mahendra
Kontributor Bali Buzz (The Jakarta Post Group)
Foto ini menceritakan tentang sebuah hiburan yang bernama cokek yang dimana hiburan ini hanya  bisa dinikmati oleh kelas menengah atas di Cina Benteng, Tanggerang, Banten. Namun sekarang seiring berjalannya waktu hiburan ini sudah bisa dinikmati oleh siapapun karena adanya proses adaptasi, efek dari modernisasi. Hiburan cokek ini menyajikan lagu-lagu dalem yang berbentuk pantun dalam bahasa melayu. Saat itu cokek menjadi salah satu simbol status sosial bagi para pemimpin masyarakat Tionghoa, sehingga tidak sembarang orang berani mendekati sang wayang. Hingga saat ini hiburan Cokek masih tetap ada, namun dalam bentuk yang baru.

Trilogi Kopi
Captured by : Muniroh
Sinar Harapan

Foto ini menceritakan bagaimana gambaran dari historis perjalanan kopi dalam konteks perdagangan dan kebudayaan. Trilogi kopi yang menghubungkan tiga hal yang saling bergantung antara pedagang, pegawai, dan pembeli. Kopi yang diceritakan adalah kopi ‘Bis Kota’ dimana kopi ini adalah bukan kopi biasa melainkan kopi adalah sebagi teman perjalan hidup keluarga penjual dan pembelinya. Cerita kopi ‘Bis Kota’ ini berasal dari Wong Hin yang berasal dari Cina, mengawali dengan mengantar kopi ke rumah orang-orang dengan menggunakan sepeda onthel. Cerita perjalan kopi ‘Bis Kota’ sangat panjang hingga tiga generasi. Ketika generasi ketiga bertemu di warung kopi, saat itulah cerita yang baru dapat dikisahkan kepada anak cucu mereka kelak.

Miss Tjitjih Kian Tertatih
Captured by : Wahyu Purno Arinto
LKBN Antara
Foto ini adalah salah satu foto dari kelompok kesenian yang telah menghibur penonton sejak di Batavia hingga sekarang di Cempaka Putih, Kemayoran, Jakarta. Miss Tjitji masih terus mempertahankan bahasa sunda dalam setiap pementasannya. Dari tahun ke tahun, hingga berganti generasi, cerita pementasan mereka masih tetap sama sebagian besar mengangkat serita horor seperti “kuntilanak warung doyong”, “kehidupan alam kubur”, dan “beranak dalam kubur”. Kelompok kesenian sandiwara Miss Tjitji juga dianggap sebagai pelopor teater modern terus menerus sepanjang zaman. Namun dibalik itu semua permasalahan materi adalah yang menjadi salah satu kendala bagi kelompok kesenian Miss Tjitji untuk mempertahankan dari kepunahan. 

Suara Dari Bharata
Captured by : Ricky Martin
Majalah Bobo
Foto ini menceritakan tentang bagaimana kehidupan seorang seniman WO Bharata. Walaupun mereka hidup dalam kesederhanaan dalam keterbatasan ekonomi, semangat mereka dalam melestarikan budaya Jawa di tengah Metropolitan Jakarta tak pernah surut. Berbagai penghargaan berhasil mereka raih di kancah seni tradisi nasional dan internasioal. Selain itu untuk menambah penghasilan bulanan diantara mereka menjadi pelatih tari dan menjadi tenaga konsultan profesional event organizer wayang orang untuk perusahaan atau instansi pemerintahan. Mereka juga memiliki moto “Langgengmu Harapanku, Lestarimu Tanggung Jawabku” dan bagi mereka mencari seorang sarjaan itu gampang, akan tetapi bisakah menyediakan satu orang pemain wayang kulit?

Pewaris Takhta Nakhoda Pinisi
Capured by : Syamsudin Ilyas
Rakyat Merdeka
Foto ini menceritakan tentang sorang nakhoda bernama Muhammad Basso yang berusia 70 tahun. Sudah selama 45 tahun Basso menjadi seorang nakhoda, berbagai jenis kapal layar tradisional sudah ia nakhodai. Menjadi seorang nakhoda adalah hal yang tidak mudah, selain harus bisa membaca petunjuk alam, seorang nakhoda juga harus memiliki jiwa kepemimpinanyang kuat. Basso juga mengatakan ilmu yang dia pelajari selama ini merupakan hasil terpaan ketika menghadapi kerasnya lautan. Dari tangannya telah banyak lahir nakhoda-nakhoda muda yang dapat diandalkan. Bagi Basso ombak dan badai adalah sahabat, yang tidak perlu dilawan tapi ikuti kemana arahnya haluan. 


Samin Vs Semen



Samin vs semen adalah sebuah film dokumenter yang membicarakan tentang penolakan adanya pembangunan pabrik semen. Film dokumenter ini menampilkan bagaimana upaya masyarakat suku Samin dalam menolak pendirian pabrik semen di daerahnya.  Selain itu masyarakat Samin juga berjuang untuk menyelamatkan tanah milik mereka dari para kapitalis yang tidak sama sekali mementingkan kehidupan masyarakat sekitar. Perlawanan masyarakat Samin diawali dengan 6 orang yang memiliki pendirian untuk melawan adanya pembangunan PT Indosemen tersebut. Berbagai upaya telah dilakukan oleh masyarakat. Awalnya perlawanan masyarakat Samin hanya dipandang sebelah mata oleh para kapitalis, namun semakin lama banyak masyarakat yang ikut berjuang untuk melakukan perlawanan tolak adanya pembangunan pabrik semen tersebut. Film dokumenter ini membuat antuasias masyarakat luas sehingga timbulnya pro kontra terkait dengan perlawanan masyarakat Samin.

Saya sendiri memiliki beberapa sudut pandang mengenai film dokumenter Samin vs Semen ini. Saya sangat pro dengan perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat Samin yang bergitu gigihnya untuk memperjuangkan apa yang mereka miliki. Mereka begitu memperjuangkan tanah karena masyarakat Samin memiliki pendirian bahwa mereka memegang teguh warisan nenek moyang. Paham sedulur Sikep warisan leluhur yang mengajarkan mereka untuk menjaga kelangsungan hidup bagi anak cucu. Masyarakat Samin mayoritas bertani, mereka menggantungkan hidupnya semua berasal dari alam dan pantang berdagang. Menurut mereka bagaimanapun keadaan yang penting mereka masih bisa makan. Bukan hanya laki-laki saja yang berjuang melakukan perlawanan terhadap pihak dari PT Indosemen, namun para wanita baik muda maupun tua semua ikut berjuang melakukan perlawanan. Kata “amin” tidak akan membuat semua berubah tanpa adanya perlawanan. Perlawanan masyarakat Samin di Kabupaten Pati berhasil sehingga pembangunan PT Indosemen gagal. Namun perjuangan masyarakat Samin tidak bisa berhenti hingga saat itu, karena PT Indosemen akan melakukan pendirian pabrik di Rembang. Sehingga waga Samin pun menuju desa tengga untuk berbagi pengalaman mereka bagaimana mereka bersatununtuk mempertahankan agar wilayah mereka tidak dibangun pabrik semen.

Sangat terbukti bahwa tidak adanya kepedulian para kapitalis yang memaksa masyarakat Samin untuk menjual tanah yang mereka miliki untuk pembangunan PT Indosemen tersebut. Pembangunan PT Indosemen di desa Pati memang gagal, namun para kapitalis tidak tinggal diam mereka terus melakukan upaya agar para masyarakat mau menjual tanah mereka demi berhasilnya pembangunan PT Indosemen tersebut. Salah satu upaya mereka adalah mendatangi satu per satu rumah warga dengan menyodorkan uang, namun masyarakat Samin tetap menolak tawaran uang itu. Tapi mereka tetap berusaha dengan mengancam jika tidak menjual tanah maka jalan menuju sawah akan ditutup, dengan berbagai kesepakatan yang telah dibuat oleh masyarakat Samin dengan pihak PT Indosemen akhirnya masyarakat Samin mau menjual sebagian tanah miliknya.

Perjanjian yang telah dibuat tidak sesuai dengan apa yang diharapkan masyarakat Samin. Sekarang bagi mereka jika pabrik semen dibangun, maka mereka akan kehilangan berhektar-hektar lahan sawah dan kehilangan sumber kehidupan. Air dan tanah sangat berarti bagi mereka. Dari apa yang telah di perlihatkan dalam film dokumenter ini, sangat tepat sebagai sarana dalam menjembatani antara pemerintah dengan masyarakat, bahwa masih banyak masyarakat pedalaman yang kurang akan kepedulian dari pihak-pihak luar. Ada satu pesan yang masyarakat Samin katakan khususnya bagi para pihak yang tinggal di kota, bahwa bagi mereka yang ingin memiliki kemewahan jangan membuat penderitaan masyarakat Samin dengan adanya pembangunan PT Indosemen untuk pembangunan rumah-rumah mewah serta gedung yang ada di perkotaan.